Sejarah: Lebih dalam Mengenal Sosok Sunan Ampel Sang Perintis Wali Songo..

Halqohnews
By -
0
Dakwah dan syiar yang diemban Wali Songo menjadi tonggak terpenting dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, terutama di pulau Jawa. Dikatakan tonggak terpenting karena kedatangan saudagar-saudagar Muslim sejak 674 Masehi ternyata tidak serta-merta diikuti oleh penyebaran Islam di kalangan penduduk pribumi.

Dalam buku Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto yang tak lain adalah tokoh dan Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama (NU), dikutip keterangan yang bersumber dari Historiografi Jawa. Di sana disebutkan, pada awal dasawarsa 1440-an, telah datang kakak beradik asal Champa ke tanah Jawa.

Adapun nama kakak tersebut, yakni Ali Murtolo (Murtadho) dan adiknya bernama Ali Rahmatulah. Keduanya datang bersama sepupu mereka yang bernama Abu Hurairah. Belakangan sang adik, yakni Ali Rahmatullah diangkat menjadi imam di Surabaya dan kakaknya dikukuhkan sebagai raja pandita di Gresik.

Berpangkal dari keluarga asal Champa inilah penyebaran Islam berkembang di wilayah Majapahit. Terutama setelah putra-putra, menantu, kerabat, serta murid-murid dari dua orang kakak beradik tersebut berdakwah secara sistematis melalui jaringan dakwah yang disebut Wali Songo yang menurut perkiraan, dibentuk pada pertengahan dasawarsa 1470-an.

Diketahui belakangan Ali Rahmatullah atau Imam Rahmatullah dikenal dengan nama lain, yakni Sunan Ampel. Menurut Lembaga Riset Islam Pesantren Luhur Sunan Giri Malang dalam Sejarah dan Dakwah Islamiyah Sunan Giri diterangkan bahwa kedatangan Imam Rahmatullah ke Jawa bersama kakak dan sepupunya memang untuk mensyiarkan Islam.

Setelah mendarat di Tuban, Jawa Timur, dan tinggal beberapa lama di sana, Imam Rahmatullah kemudian berangkat menemui bibinya, Darawati, yang dipersunting oleh Raja Majapahit Sri Prabu Kertawijaya. Kedatangannya ke Majapahit diperkirakan terjadi pada pertengahan abad ke-15.

Dalam buku Atlas Wali Songo dikutip keterangan dari Babad Ngampeldenta. Dalam babad tersebut dijelaskan, pengangkatan Ali Rahmatullah sebagai imam di Surabaya dengan gelar sunan dan keududukan wali di Ngampeldenta dilakukan oleh raja Majapahit. Dengan demikian, Ali Rahmatullah atau Imam Rahmatullah lebih dikenal dengan nama Sunan Ngampel atau Ampel.

Di dalam Babad Tanah Djawi digambarkan bahwa Sunan Ampel, selain membimbing para muridnya agar mampu atau fasih membaca Alquran, ia juga mengajarkan berbagai kitab tentang ilmu syariat, tarekat, dan ilmu hakikat, baik lafal maupun maknanya. Salah satu yang pernah dididik olehnya adalah Raden Paku (Sunan Giri).

Babad Tanah Djawi yang dinukil Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Wali Songo juga menerangkan amaliah rohani yang dijalankan dan diajarkan Sunan Ampel. Antara lain mencegah hawa nafsu, tidak tidur malam untuk beribadah kepada Allah SWT, menunaikan ibadah fardu dan sunah, mencegah yang haram dan makruh, serta tawajuh memuji Allah SWT.

Usaha dakwah Islam Sunan Ampel dikenal sangat persuasif dengan melakukan pendekatan bersifat kekeluargaan dan penuh empati. Kendati demikian, bukan berarti dia tidak menghadapi tantangan. Masih bersumber dari Babad Tanah Djawi, diterangkan bagaimana Sunan Ampel dicemooh dan ditertawakan masyarakat ketika memperkenalkan tata cara dan praktik shalat yang pada masa tersebut, gerakannya dianggap aneh oleh masyarakat.

Sunan Ampel pun dicela karena selalu memilah makanan yang hendak dikonsumsinya. Misalnya, ia menolak untuk makan daging babi dan katak yang cukup lumrah dikonsumsi masyarakat kala itu. Tapi, dalam Babad Tanah Djawi dikisahkan, Sunan Ampel selalu sabar dan tidak pernah tersulut amarahnya karena cemoohan dan celaan yang diterimanya.

Sebagai seorang Muslim yang berasal dari Champa, Sunan Ampel membawa serta kebudayaan daerah asalnya dalam proses syiar dan dakwah Islam di tanah Jawa. Setelah kedatangan penyebar Islam Champa yang dipelopori Sunan Ampel, penduduk Majapahit mulai mengenal tradisi keagamaan kenduri dan memperingati kematian seseorang pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100, dan ke-1000.

Dalam buku "Kerajaan Champa" terbitan EFEO disebutkan, masyarakat Muslim Champa memiliki kebiasaan memperingati kematian seseorang  pada hari ketiga, ketujuh, ke-40, ke-100, dan ke-1000. Muslim Champa juga memiliki kebiasaan melakukan peringatan haul, membuat bubur asyura pada perayaan Hari Raya Asyura, serta memperingati maulid Nabi Muhammad SAW.

Kebudayaan dan tradisi masyarakat Muslim Champa tersebut juga diperkenalkan dan ditularkan oleh Sunan Ampel kepada masyarakat Jawa. Tradisi-tradisi tersebut bahkan, masih langgeng dan rutin dilakukan hingga saat ini.

Pengaruh dakwah Islam Sunan Ampel beserta kerabat dan seluruh muridnya, tidak diragukan lagi memberikan kontribusi yang tidak kecil terhadap terjadinya perubahan sosiokultural-religius pada masyarakat, khususnya Jawa. Sebab, pada masanya, masyarakat masih mengikuti adat dan tradisi keagamaan Majapahit, yang notabene dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha dan Kapitayan.

Pada usia senjanya Sunan Ampel telah menjadi tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat sebagai sepuh Wali Songo. Kendati demikian, belum terdapat keterangan pasti perihal kapan dan di mana wafatnya Sunan Ampel. [Mediaislam.org/rol]

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)