Dulu, Belanda mendarat di Nusantara hanya untuk bertukar dan memanfaatkan perdagangan rempah di Nusantara. Maklum, rempah kita termasuk yang terbaik di Dunia. Apalagi, kala itu rempah-rempah hampir senilai dengan emas.
Belanda pun memanfaatkan keramah-tamahan orang Nusantara. Lalu, mereka minta menaruh pasukan mereka, di beberapa lokasi. Orang Nusantara tetap diam. Belanda kemudian membangun tempat-tempat strategis, dengan alasan agar Kongsi dagang mereka bisa terkontrol. Lama-lama berdirilah VOC.
Kaum Pemodal Tiongkok pun demikian. Yang terpenting labuhkan saja dahulu di daratan, kemudian menjadikan Nusantara sebagai Cina daratan berikutnya. Ya, para pemodal itu memanfaatkan keramahan orang Indonesia. Mereka kemudian melakukan jual beli. Mereka kemudian minta agar difasilitasi untuk membangun rumah. Lamban-laun, mereka membuat kompleks pecinaan. Mereka membaur, bersatu dan seakan-akan ikut arus Nusantara. Sayangnya Kaum Pemodal Tiongkok ini, ternyata nyaman dengan Nusantara. Maka, mereka membangun bisnis model mereka. ATM gaya VOC dipakai. Dan kini, lihatlah betapa Cina Kapitalis itu hampir-hampir menguasai seluruh kekuatan ekonomi Indonesia.
Cara paling tepat mengamankan aset-aset mereka, adalah menaruh orang-orang pribumi sebagai komisaris, direktur atau pekerja biasa. Sehingga, diharapkan nanti yang berbenturan ya sesama pribumi. Gaya VOC dipakai.
Sehingga ketika puncak kekesalan datang, jawaban mereka santai. Mereka coba menggunakan strategi orang pribumi agar dikasihani. Dan bisnis mereka terus berjalan. Sekaligus memikirkan penjajahan yang tak nampak.
Bagi saya, Tidak semua orang tiongkok itu perlu kita cela dan caci. Tidak semua keturunan Tiongkok itu kita lawan dan kita hantam. Tapi yang kita benci dan lawan adalah prilaku orang-orang tiongkok yang karena mereka, adu domba pribumi terjadi.