Sorotan Politik Transaksional di Pilkada 2017

Halqohnews
By -
0
Sebagaimana sudah diketahui bersama bahwa pilkada serentak tahun 2017 ini akan diikuti oleh sekitar 101 daerah dan akan dilaksanakan pada hari Rabu, 15 Februari 2017. Ini adalah sebuah hajatan besar yang disuguhkan kepada Rakyat Indonesia. Terlebih bagi warga DKI Jakarta, yang mana pada Pilkada DKI kali ini dibumbui kasus penistaan terhadap Alqur'an yang dilakukan oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, cagub no. urut 2. Secara umum, pelaksanaan Pilkada Serentak kali ini diharapkan mampu memberikan perubahan. Dengan iming-iming bahwa pilkada serentak ini, nantinya akan mampu menghasilkan sosok pemimpin yang mampu mewujudkan sebuah perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat ke arah lebih baik di segala bidang. Makanya, masyarakat di dorong untuk berpartisipasi dan mempergunakan hak pilihnya agar perubahan itu bisa segera terwujud. Namun demikian, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah akankah pilkada serentak kali ini benar-benar membawa perubahan bagi Indonesia?

Pemilihan Kepala Daerah

Perlu dipahami dahulu, posisi, fungsi dan makna pemilu dalam sistem demokrasi. Juga proses pemilu itu sendiri. Lalu semua itu di jadikan dasar untuk memprediksi akankah terjadi perubahan yang diangankan rakyat atau tidak. Pemilu, didalam negara demokrasi merupakan lambang atau tolak ukur dari demokrasi sebagai wujud dari implementasi kebebasan berpendapat dan berserikat. Karena itu, salah satu prinsip dari pemilu adalah bebas.

Sebagai anak kandung dari demokrasi, pemilu adalah sebuah perwujudan dari prinsip kedaulatan di tangan rakyat serta melegislasikan doktrin kekuasaan di tangan rakyat. Menurut Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman diantara posisi dan fungsi pemilu, adalah; sebagai sarana legitimasi politik; sarana sirkulasi kekuasaan; sebagai representasi politik untuk mengaktualisasi aspirasi dan kepentingan rakyat; sebagai implementasi kedaulatan rakyat; dan untuk sosialisasi dan pendidikan politik masyarakat. (mediaumat.com, 13/4/2014)

Dengan posisi seperti itu maka pemilu memiliki makna yang salah satu diantaranya, sebagai proses penyegaran di dalam pemerintahan dengan memilih perwakilan rakyat untuk pembuatan kebijakan negara. Pada hakikatnya pemilu juga merupakan sarana rotasi kekuasaan secara damai dan menjadi media oleh rakyat untuk menentukan pemimpin mereka. Sehingga pemilu dilakukan guna untuk mentranformasikan suara rakyat menjadi sebuah keputusan politik. Pemilu sendiri, juga berperan sebagai media pembelajaran demokrasi, belajar "menang" dan "kalah". Meskipun dalam kenyataannya, belum tentu kepentingan dari pihak yang kalah akan diabaikan begitu saja. Sebab sudah menjadi rahasia umum jika di dalam demokrasi politik transaksional, saling jegal, dan saling serang sangat sering terjadi. Berdasarkan hal ini maka, pemilu dalam sistem demokrasi, termasuk pilkada serentak 2017 kali ini-pun tak lebih dari ajang rotasi kekuasaan saja. Individu/person penguasa bisa saja berubah akan tetapi jika sistem masih saja sama. Maka, sangat mustahil jika rakyat mendambakan sebuah perubahan yang revolusioner di dalam tatanan kehidupan bermasyarakat melalui demokrasi.

Terlebih output dari pilkada sendiri tak bisa dilepaskan begitu saja dari inputnya. Sudah menjadi rahasia umum jika biaya kampanye calon kepala daerah tidak sebanding dengan gaji plus tunjangan yang akan di dapatkan saat menjabat. Makanya, salah seorang anggota komisi II DPR, Amirul Tamim, yang pernah menjadi Bupati Baubau, Buton pada 2003-2013, mengatakan bahwa mahalnya biaya pilkada kerap berujung pada korupsi. Kepala daerah berusaha mendapat "balik modal" untuk membayar tuntas semua pengeluarannya selama pilkada dengan segala macam upaya. "Biaya politik terlalu tinggi, tetapi tak seimbang dengan pemasukan saat menjabat, ini masalah," kata Amirul. (Biaya Pilkada Picu Korupsi, Kompas.com 27/09/2016)

Belum lagi, calon pasangan yang disodorkan kepada rakyat tak lebih dari orang-orang yang sudah dipilih dan disodorkan oleh partai. Meski demokrasi memberikan pengertiannya bahwa rakyat bebas untuk memilih siapa saja calon pemimpinnya. Namun, kenyataannya setiap pasangan calon yang dipilih ternyata sudah ditentukan terlebih dahulu. Sehingga, keinginan rakyat untuk memiliki pemimpin yang diinginkannya telah dibatasi.

Kemudian yang paling nyata terlihat adalah tidak ada satupun calon kepala daerah maupun parpol pengusung yang terang-terangan menyampaikan gagasan dan tujuannya untuk menerapkan Islam secara totalitas dalam seluruh aspek kehidupan. Sehingga, dari sini saja bisa dilihat bahwa pilkada serentak kali ini akan sangat sulit membawa angin perubahan yang revolusioner kepada umat islam. Bagaimana bisa di negeri yang katanya mayoritas berpenduduk muslim ini tak ada satupun calon kepala daerah yang pede menawarkan islam sebagai solusi tuntas atas segala macam problematika kehidupan?.  Sehingga, jelaslah sudah bahwa pilkada kali ini tidak akan memberikan dampak yang berarti bagi rakyat dan akan bernasib sama seperti pilkada serentak 2015 maupun pilkada-pilkada sebelumnya. Kekuasaan akan tetap dikendalikan oleh elit daerah; korupsi, suap dan penyalahgunaan wewenang akan tetap marak terjadi; perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha akan terus berlanjut; pemimpin daerah nantinya hanya akan mementingkan kepentingan dirinya, kelompok, partai, dan pemodal sedangkan kepentingan rakyat akan tetap terpinggirkan.

Pemilihan Kepala Daerah Dalam Islam

Berbeda dengan demokrasi, Islam telah menetapkan bahwa kewenangan menunjuk dan memberhentikan kepala daerah ada di tangan khalifah sebagai kepala negara. Sehingga dengan ini, kepala daerah ataupun pejabat negara serta masyarakat akan sangat paham bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan biasa, bisa berhenti kapan saja. Dengan begitu, jabatan kepala daerah tidak akan diagung-agungkan. Orang juga tidak akan terdorong untuk mengejar-ngejarnya seperti saat ini.
Lantas bagaimana dengan peran rakyat? Dalam islam, rakyat sangat menentukan kelangsungan jabatan seorang kepala daerah. Jika penduduk suatu daerah menampakkan ketidakridhaannya dan mengadukan seorang kepala daerah kepada khalifah. Maka, khalifah wajib memberhentikan kepala daerah tersebut. Rasulullah SAW pernah memberhentikan 'Ila' bin al-Hadhrami yang menjadi Amil Beliau (pemimpin wilayah setingkat kabupaten) di Bahrain karena utusan Abd Qays mengadukannya. Sama halnya juga Khalifah Umar bin Khattab pernah memberhentikan Saad bin Abi Waqash karena masyarakat mengadukannya. Saat itu beliau berkata, "Aku tidak memberhentikannya karena suatu ketidakmampuan dan tidak pula karena suatu peng-khianatan." (Dalam kitab Ajhizah ad-Dhaulah al-Khilafah, Pembahasan tentang Wali).

Dengan ketentuan seperti itu maka pengangkatan kepala daerah dalam sistem islam memiliki tiga keunggulan di banding pengangkatan kepala daerah dalam sistem demokrasi;

Pertama, sangat efektif dan efisien. Biaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Uang rakyat tak akan disedot untuk pemilu yang hasilnya sangat jauh dari harapan, seperti sekarang.

Kedua, Pertanggungjawaban kepala daerah akan terjamin. Sebab dengan adanya kontrol langsung dari Khalifah dan Rakyat serta rasa tanggung jawab ketaatan memegang amanah kepada Allah SWT. Akan membuat kepala daerah untuk berpikir seribu kali jika ingin melakukan sebuah kesalahan, lamban dalam memegang amanah ataupun melakukan sebuah kezaliman yang membuat rakyat tidak ridha atas kepemimpinannya. Andaikan, rakyat tidak ridha atasnya maka, ia bisa diberhentikan saat itu juga.

Ketiga, Partisipasi rakyat dalam pemerintahan dan kontrol terhadap kepala daerah menjadi mudah. Sebab setiap kepala daerah, baik Wali (Gubernur) maupun Amil (Bupati) adalah harus orang yang diridhai kepemimpinannya oleh rakyatnya. Sehingga kontrol rakyat maupun perwakilan rakyat akan sangat menentukan lamanya ia memangku masa jabatan. Andaikan rakyat tidak ridha atas kepemimpinan seorang kepala daerah maka, Khalifah wajib memberhentikannya dan menggantinya dengan seseorang yang diridhai oleh rakyat. Sehingga, partisipasi rakyat dalam kontrol kepala daerah akan sangat tinggi.

Khatimah

Wahai kaum muslimin, memiliki seorang kepala daerah yang amanah, taat syariah dan benar-benar melayani kepentingan rakyat hanya akan ada dan terlahir dari Sistem Islam. Sistem Demokrasi dengan segala macam keruwetannya hanya akan melahirkan kerusakan dan keterpurukan berikutnya. Oleh karena itu, sadarlah bahwa demokrasi sampai kapanpun tidak akan mampu membawa perubahan yang berarti. Umat Islam akan bangkit dari keterpurukan jika mereka mau mengambil kembali islam sebagai sebuah sistem hidup. Mencampakkan Sistem Demokrasi Sekuler, Kapitalis dan Liberal seraya berjuang bersama menegakkan kembali Sistem Islam, Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabiaan. Wallahu a'lam bish shawab

Oleh: Aziz Rohman (pemerhti politik)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)