Negara Kesatuan Republik Indonesia, disingkat menjadi NKRI adalah hasil kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia, yang awalnya terdiri dari penganut lima agama, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Budha untuk bersama dalam satu negara dan satu bangsa. Kesepakatan tersebut dibangun dalam format negara yang disebut dengan NKRI dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Kesepakatan tersebut dibangun atas asas saling menghargai dan menghormati, serta memberikan jaminan keamanan kepada penganut agama masing-masing untuk menjalankan aktifitas keagamaannya.
Pertanyaannya, apakah kesepakatan para pendiri bangsa yang telah membangun negara dengan nama NKRI tersebur merupakan harga mati, di mana umat Islam khususnya para generasi harus mempertahankan mati-matian dalam kesepakatan yang ada meskipun dari pihak agama lain misalnya melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan? Akhir-akhir ini sering kita dengar suara sebagian orang yang mengatakan bahwa NKRI harga mati. Marilah kita baca ayat berikut ini, serta penjelasan ulama tentang penafsirannya.
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ (55) الَّذِينَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُونَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لاَ يَتَّقُونَ (56) فَإِمَّا تَثْقَفَنَّهُمْ فِي الْحَرْبِ فَشَرِّدْ بِهِمْ مَنْ خَلْفَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (57) وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْخَائِنِينَ (58)
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS al-Anfal : 55-58).
Dalam firman di atas, ada redaksi, “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur”. Dalam menafsirkan ayat tersebut, al-Imam Fakhruddin al-Razi berkata dalam tafsirnya:
قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ: آثَارُ نَقْضِ الْعَهْدِ إِذَا ظَهَرَتْ، فَإِمَّا أَنْ تَظْهَرَ ظُهُورًا مُحْتَمَلاً أَوْ ظُهُورًا مَقْطُوعًا بِهِ، فَإِنْ كَانَ اْلأَوَّلَ وَجَبَ اْلإِعْلاَمُ عَلَى مَا هُوَ مَذْكُورٌ فِي هَذِهِ اْلآيَةِ، وَذَلِكَ لأَنَّ قُرَيْظَةَ عَاهَدُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ أَجَابُوا أَبَا سُفْيَانَ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِلَى مُظَاهَرَتِهِمْ عَلَى رَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَصَلَ لِرَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَوْفُ الْغَدْرِ مِنْهُمْ بِهِ وَبِأَصْحَابِهِ فَهَهُنَا يَجِبُ عَلَى اْلإِمَامِ أَنْ يَنْبِذَ إِلَيْهِمْ عُهُودَهُمْ عَلَى سَوَاءٍ وَيُؤْذِنَهُمْ بِالْحَرْبِ، أَمَّا إِذَا ظَهَرَ نَقْضُ الْعَهْدِ ظُهُورًا مَقْطُوعًا بِهِ فَهَهُنَا لاَ حَاجَةَ إِلَى نَبْذِ الْعَهْدِ كَمَا فَعَلَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَهْلِ مَكَّةَ فَإِنَّهُمْ لَمَّا نَقَضُوا الْعَهْدَ بِقَتْلِ خُزَاعَةَ وَهُمْ مِنْ ذِمَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَلَ إِلَيْهِمْ جَيْشُ رَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَرِّ الظَّهْرَانِ، وَذَلِكَ عَلَى أَرْبَعَةِ فَرَاسِخَ مِنْ مَكَّةَ.
Para ulama berkata: Apabila tampak adanya tanda-tanda pembatalan perjanjian dari pihak orang kafir, maka ada kalanya tanda-tanda tersebut tampak dengan penampakan yang bersifat kemungkinan, atau dengan penampakan yang dipastikan.
1) Maka apabila yang terjadi adalah yang pertama, yaitu ada tanda-tanda yang bersifat kemungkinan pembatalan perjanjian, maka umat Islam wajib memberitahukan kepada mereka bahwa perjanjian telah dibatalkan dan dikembalikan kepada mereka sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut. Karena sesungguhnya suku Quraizhah telah mengadakan perjanjian dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka menerima ajakan Abu Sufyan dan orang-orang Musyrik yang bersamanya untuk menolong mereka menghadapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan pengkhianatan mereka kepada baginda dan para sahabatnya, maka dalam kondisi ini seorang imam (pemimpin umat Islam) mengembalikan perjanjian tersebut kepada mereka dan mengumumkan situasi perang dengan mereka.
2) Apabila pembatalan perjanjian telah tampak dengan penampakan yang pasti, maka di sini tidak perlu untuk mengembalikan perjanjian kepada mereka, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi penduduk Makkah. Maka ketika mreka membatalkan pernjanjian dengan membunuh suku Khuza’ah, padahal mereka dalam tanggungan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tentara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada mereka di Marr al-Zhahran, yaitu jarak 4 farsakh dari Makkah. (Al-Imam Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, juz 15 hlm 498).
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pernyataan NKRI harga mati oleh sebagian orang adalah tidak benar. Dalam sebuah perjanjian, apabila pada pihak kedua ada tanda-tanda pembatalan atau pelanggaran terhadap perjanjian, maka jika tanda-tanda tersebut masih bersifat kemungkinan, akan tetapi umat Islam mengkhawatirkan pelanggaran dari mereka, misalnya mereka mengadakan kolaborasi dengan musuh Islam untuk merongrong umat Islam, maka umat Islam boleh mengembalikan atau membatalkan secara terus terang kepada mereka dan mengumumkan hubungan permusuhan dengan mereka. Dan apabila pelanggaran atau pembatalan perjanjian dari pihak kedua, memang bersifat pasti dan meyakinkan, maka perjanjian menjadi batal dengan sendirinya, dan tidak perlu dibatalkan kepada mereka.
Islam Harga Mati. NKRI bukan harga mati.
Wallahu a’lam.
By. Ust. Muhammad Idrus Romli